Monday, April 14, 2008

IDRUS

Idrus
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Idrus (Padang, 21 September 1921 - Padang, 18 Mei 1979, Sumatera Barat) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia menikah dengan Ratna Suri, pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.
Daftar isi
Dunia Sastra
Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu.
Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain.
Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya.
Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Kemampuannya menggunakan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) membuatnya berpeluang untuk menerjemahkan buku-buku asing. Hasilnya antara lain adalah Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslov Hask, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant.
Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Di Malaysia, lepas dari tekanan Lekra, ia terus berkarya. Karyanya saat itu, antara lain, Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963).
Di dalam dunia sastra, kehebatan Idrus diakui khalayak sastra, terutama setelah karyanya Surabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Aki diterbitkan. Ketiga karyanya itu menjadi karya monumental. Setelah ketiga karya itu, memang, pamor Idrus mulai menurun. Namun tidak berarti ia lantas tidak disebut lagi, ia masih tetap eksis dengan menulis kritik, esai, dan hal-hal yang berkenaan dengan sastra di surat kabar, majalah, dan RRI (untuk dibacakan).

Karya-karya

Novel
Surabaya
Aki
Perempuan dan kebangsaan
Dengan Mata Terbuka
Hati Nurani Manusia
Hikayat Putri Penelope
Hikayat Petualang Lima
Cerpen
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Anak Buta

Drama
Dokter Bisma
Jibaku Aceh
Keluarga Surono
Kejahatan Membalas Dendam

Karya Terjemahan
Kereta Api Baja
Roti Kita Sehari-hari
Keju
Perkenalan dengan Anton Chekov
Cerita Wanita Termulia
Dua Episode Masa Kecil
Ibu yang Kukenang
Acoka
Dari Penciptaan Kedua

MUHAMAD YAMIN



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan
Prof. Muhammad Yamin, SH (Sawahlunto, 24 Agustus 1903Jakarta, 17 Oktober 1962) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Biografi
1.1 Kesusasteraan
1.2 Politik
2 Karya-karyanya
3 Lihat pula
4 Pranala luar


Biografi

Kesusasteraan
Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulakan karir sebagai seorang penulis pada dasawarsa1920-an semasa puisi Indonesia mengalami romantisisme yang hebat. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada kata-kata basi bahasa Melayu Klasik.


Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern utama yang pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang anak Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .


Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekad 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pembentuk-pembentuk utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.


Walaupun Yamin menguji kaji bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Beliau juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Politik
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Beliau kemudian bekerja dalam bidang hukum Internasional di Jakarta sehingga tahun 1942. Karir politiknya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.


Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepun. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru harus merangkumi Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.


Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.

Karya-karyanya
Tanah Air, 1922
Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
Ken Arok dan Ken Dedes, 1934
Sedjarah Peperangan Dipanegara , 1945
Gadjah Mada, 1948
Revolusi Amerika, 1951


Indonesian historian, poet, playwright, and politician, member of the leftist Murba Party. Yamin became President Sukarno's principal 'myth-maker'. He started his career as a writer in the 1920s, when Indonesian poetry was marked by an intense and largely reflective romanticism.
Di atas batasan Bukit Barisan Memandang beta ke bawah memandang Tampaklah hutan rimba dan ngarai lagi pun sawah, telaga nan permai : Serta gerangan lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk daun kelapa : Itulah tanah airku Sumatera namanya tumpah darahku. (from 'Tanah Air')


Minangkabau Muhammad Yamin was one of the pioneers of modern poetry in Indonesia. He was born in Sawah Lunto in West-Sumatra. Yamin started to write in Malaya in the Dutch-language journal Jong Sumatra in 1920, but his early works were still tied to the clichés used in Classical Malay. Yamin debuted as a poet with Tanah Air ('fatherland') in 1922. It was the first collection of modern Malay verse to be published. However, the first important modern novel in Malay, Sitti Nurbaya by Minangkabau Marah Rusli, had appeared in 1922. Rusli's work enjoyed ten years of great popularity. The 'fatherland' to which the title of Yamin's book referred, was not Indonesia but Sumatra. In the title poem In it, Yamin stands on the hills of his native Minangkabau country, praising its natural beauty. Yamin's second collection, Tumpah Darahku, appeared on 28 October, 1928. The date was historically important - then Muhammad Yamin and his fellow nationalists resolved to revere a single - Indonesian - homeland, race and language. His play, Ken Arok dan Ken Dedes, which took its subject from Java's history, appeared also 1928. From the late 1920s until 1933 Roestam Effendi, Sanusi Pané with his poems (Madah Kelana, 1931) and plays (Kertadjaja, 1932; Sandhyakala ning Majapahit, 1933), and Sutan Takdir Alisjahbana were the principal shapers of the Malay language and its literature.


Yamin studied law in Jakarta, graduating in 1932. He worked in Jakarta until 1942 specializing in international law. Yamin's political career started early and he was a active in nationalist movements. In 1928 the Second Congress of Indonesian Youth proclaimed Malay, since known as Indonesian (Bahasa Indonesia), the language of the Indonesian nationalist movement. Yamin made an initiative through the organization Indonesia Muda, that Bahasa Indonesia is made as the foundation of a national language. Today it is the republic's official language and the principal vehicle for innovative literary expression. Also attempts at writing modern literature have been made in most of Indonesian major regional languages.


During the Japanese occupation (1942-1945) Yamin worked for the Japanese-sponsored confederation of nationalist organizations, the Center of People's Power (Putera). In 1945 Yamin suggested to BPUPKI, a committee preparing Indonesian's independence process, that the new nation should include Sarawak, Sabah, Malaya, and Portuguese Timor, as well as all the territories of the Netherlands Indies. Achmad Sukarno (1901-1970), who was a member of BPUPKI, supported Yamin. Sukarno became in 1945 the first President of Indonesian republic. Under Sukarno's long period of power - he was he was stripped of office in 1967 - Indonesia became a leader of the Third World, and developed close ties with China and the U.S.S.R. During and after the struggle for independence Yamin held important posts in the governmental administration. Yamin died in Jakarta on October 17, 1962.


Yamin's first works appeared in the 1920s. He made much use of the sonnet form, borrowed from Dutch literature. At that time among the major writers were national activist Abdoel Moeis (1898-1959), whose central theme was the interaction of Indonesian and European value system. In 1936 appeared Pandji Tisna's (1908-1978) Sukreni, gadis Bali, possibly the most original work of pre-independence fiction, which dealt with the destructive effect of contemporary commercial ethics on Balinese society. Distinctly innovative poetry began to appear in the 1910s. The European sonnet form was especially popular, but the influence of traditional verse forms remained strong. Although Yamin experimented with the language in his poetry, he uphold the classical norms of Malay more than the younger generation of writers, who gradually improved on the new poertry. Yamin also published plays, essays, historical novels and poems, and translated works from such authors as Shakespeare (Julius Caesar) and Tagore.
Indonesian literature from the 1920s to the 1960s: The earliest Indonesian novels were published in the 1920s. Pudjangga Baru (The New Writer) literary school, which was established in 1933, influenced greatly the development of literature. Its founder and first editors were Sutan Takdir Alisjahbana, and Arminjn Pané, brother of Sanusi Pané. Pudnjagga Baru advocated the idea that traditional literary forms had to be replaced by moderrn means of expression. Another movement, 45 Group, reflected the ideas of the independence struggle. Among its members was the poet Chairil Anwar, who died at the age of 27, but released the poetry from the bonds of traditional forms and literary language. Other important writers: Sanuse Pané, Idrus, Surwarsih Djojopuspito, Achdiat Karta Mihardja, Toha Mohtar, Mochtar Lubis (imprisoned by the Sukarno regime for four years), Pramoedye Ananta Toer. The first Indonesian dramatist to gain wide recognition was Utuy Tatang Sontani (1820-1979). Poetry in Javanese since independence has been dominated by St. Iesmaniasita and by Muryalelana (b. 1932), preindependence fiction in Sundanese was almost synonymous with the name of Mohamad Ambri (1892-1936). The finest Chinese-Indonesian novelist was Liem King-hoo. The most substantial work of fiction in Dutch by an Indonesian author was the novel Buiten het gareel (1940) by Suwarsih Djojopuspito. - For further reading: Modern Indonesian Literature by A. Teeuw (1979); The Emergence of the Novel in Modern Indonesian and Malaysian Literature by Ali A. Wahab (1991); 'Southeast Asian Novel: Indonesia' in Encyclopedia of the Novel, Vol 2., ed. by Paul Schellinger (1998) -


For further information: Tanah Air -
Selected works:
TANAH AIR, 1922
INDONESIA, TUMPAH DARAHKU, 1928
KEN AROK DAN KEN DEDES, 1934
SEDJARAH PEPERANGAN DIPANEGARA, 1945
GAJA MADA, 1948
REVOLUSI AMERIKA, 1951

SUTARDJI CALZOUM BACHRI



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.




Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri"

RAMADHAN K.H.



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke:
navigasi, cari

Ramadhan K.H. yang nama lengkapnya adalah Ramadhan Karta Hadimadja, dilahirkan di
Bandung pada 16 Maret 1927, dan meninggal di rumahnya di Cape Town, Afrika Selatan pada 16 Maret 2006 setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.
Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Rd. Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang patih Kabupaten Bandung pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 - 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadhan yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni Rd. Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadhan masih belum genap tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan menghayati derita kaum perempuan.
Daftar isi[
sembunyikan]
1 Pendidikan dan pekerjaan
2 Korban fitnah
3 Menulis biografi Presiden Soeharto
4 Akhir hayat
5 Karya-karya Ramadhan
5.1 Biografi
5.2 Novel
5.3 Puisi
5.4 Terjemahan
5.5 Lain-lain
6 Pranala luar
//

[sunting] Pendidikan dan pekerjaan
Ramadhan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan
Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.
Semasa hidupnya Ramadhan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.
Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadhan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya,
Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.
Sastrawan
Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadhan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadhan tinggal di Capetown mengikuti istrinya,
Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada tahun 1993 Ramadhan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.

[sunting] Korban fitnah
Pada tahun
1965 Ramadhan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.
Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu
A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadhan langsung pindah ke Jakarta.

[sunting] Menulis biografi Presiden Soeharto
Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadhan dihubungi oleh Kepala Mass Media
Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden R.I. waktu itu. Ramadhan mula-mula menolak, karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadhan.
Nama Ramadhan dipilih lantaran bukunya,
Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.
Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat di masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadhan lebih banyak bekerja.
Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadhan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap.
Ramadhan biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.
Tidak selamanya perjalanan Ramadhan dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi
Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.
Setelah Tines berpulang, Ramadhan kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel
Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana. Bersama Gumilang ia datang, masuk ke halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.

[sunting] Akhir hayat
Pada hari-hari terakhirnya, Ramadhan kembali menekuni kegemarannya di masa lalu, melukis. Salah satu tema lukisan kesayangannya adalah rangkaian pegunungan di belakang rumahnya di Cape Town.
Ia meninggal dunia tepat pada peringatan hari kelahirannya yang ke-79 tahun. Ia meninggalkan istrinya, Salfrida, dua orang putra dari Tines,
Gilang dan Gumilang, dan lima orang cucu.
Ramadhan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada
1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadhan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.

[sunting] Karya-karya Ramadhan

[sunting] Biografi
Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981)
Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar Yusra) (1993)
Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994)
Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadhan K.H. dan Nina Pane) (2004)

[sunting] Novel
Rojan revolusi (1971)
Kemelut hidup (1977)
Keluarga Permana (1978)
Ladang Perminus (1990)

[sunting] Puisi
Priangan si Djelita: kumpulan sandjak (1956)
Am Rande des Reisfelds: zweisprachige Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadhan K.H. aus dem indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser = Pinggir sawah : antologi dwibahasa puisi Indonesia modern / disunting bersama dengan Berthold Damshäuser, diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman oleh Berthold Damshäuser (1990)
Gebt mir Indonesien zurück! - Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadhan K.H.; aus dem Indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser, mit einem Vorwort von Berthold Damshäuser (1994)
Jakarta & Berlin dalam cermin puisi: antologi dwibahasa dengan puisi mengenai Jakarta dan Berlin (2002)
Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine: antologi puisi dwibahasa Indonesia-Prancis (..)

[sunting] Terjemahan
Yerma: drama tragis dalam tiga babak dan enam adegan oleh
Federico García Lorca (1956)
Romansa Kaum Gitana oleh Federico García Lorca (1973)
Rumah Bernarda Alba oleh Federico García Lorca (1957)

[sunting] Lain-lain
Bola Kerandjang - liputan
Olimpiade Helsinki (1952) - bukunya yang pertama
Syair Himne Asian Games Jakarta (1963)
Menguak duniaku - kisah sejati kelainan seksual (ditulis bersama dengan R. Prie Prawirakusumah) (1988)
Amatan para ahli Jerman tentang Indonesia, disunting bersama dengan Berthold Damshäuser (1992)
Rantau dan renungan: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (1992)
Transmigrasi: harapan dan tantangan (1993)
Dari monopoli menuju kompetisi: 50 tahun telekomunikasi Indonesia sejarah dan kiat manajemen Telkom (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa, Abrar Yusra) (1994)
Mochtar Lubis bicara lurus: menjawab pertanyaan wartawan (1995)
Pers bertanya, Bang Ali menjawab (1995)
Rantau dan Renungan I: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (penyunting bersama dengan Jean Couteau, Henri Chambert-Loir) (1999)
Kita banyak berdusta - wawancara pers dan tulisan Laksamana Sukardi (penyunting bersama dengan Endo Senggono) (2000)
Peran historis Kosgoro (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (2000)

EMHA AINUN NADJIB



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Emha Ainun Nadjib (Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas genre.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Teater
2 Puisi/Buku
3 Essai/Buku
4 Pranala luar
//

[sunting] Teater
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halimd HD, jaringan kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

[sunting] Puisi/Buku
Menerbitkan 16 buku puisi:
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
99 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair Amaul Husna (1994)

[sunting] Essai/Buku
Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:
Dari Pojok Sejarah (1985),
Sastra Yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
Markesot Bertutur (1993),
Markesot Bertutur Lagi (1994),
Opini Plesetan (1996),
Gerakan Punakawan (1994),
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
Slilit Sang Kiai (1991),
Sudrun Gugat (1994),
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
Bola- Bola Kultural (1996),
Budaya Tanding (1995),
Titik Nadir Demokrasi (1995),
Tuhanpun Berpuasa (1996),
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
Kiai Kocar Kacir (1998)
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
Menelusuri Titik Keimanan (2001),
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
Segitiga Cinta (2001),
“Kitab Ketentraman” (2001),
“Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
“Tahajjud Cinta” (2003),
“Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
Folklore Madura (2005),
Puasa ya Puasa (2005),
Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
Kafir Liberal (2006)
Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)
"Istriku Seribu" Polimonogami Monopoligami...(Januari 2007, Essai)
"Tidak.Jibril Tidak Pensium (Penerbit Progress,Cet. I, Juli 2007,)

CHAIRIL ANWAR


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Foto Chairil Anwar
Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [1]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Masa kecil
2 Masa Dewasa
3 Akhir Hidup
4 Buku-buku
5 Terjemahan ke dalam bahasa asing
6 Karya-karya tentang Chairil Anwar
7 Pranala luar
8 Referensi
//

[sunting] Masa kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [1]
Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. [2] Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.[3]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

[sunting] Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[4]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[5]
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

[sunting] Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[6] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

[sunting] Buku-buku
Deru Campur Debu (1949)
Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998)
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

[sunting] Terjemahan ke dalam bahasa asing
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
"Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
"Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
"Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

[sunting] Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)

MARAH RUSLI

Marah Roesli
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Marah Roesli atau sering kali dieja Marah Rusli (lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Agustus 1889, meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Januari 1968 adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka. Keterkenalannya karena karyanya Siti Nurbaya (roman) yang diterbitkan pada tahun 1920 sangat banyak dibicarakan orang, bahkan sampai kini. Siti Nurbaya telah melegenda, wanita yang dipaksa kawin oleh orang tuanya, dengan lelaki yang tidak diinginkannya
Daftar isi[sembunyikan]
1 Riwayat
2 Kiprah
3 Bibliografi
4 Trivia
5 Pranala luar
//

[sunting] Riwayat
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya.
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.

[sunting] Kiprah
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat.
Marah Rusli berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.

[sunting] Bibliografi
Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun 1969.
La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.
Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.
Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)
Tesna Zahera (naskah Roman)
Terjemahannya: Gadis yang Malang (novel Charles Dickens, 1922).

[sunting] Trivia
Marah Roesli adalah kakek dari Harry Roesli, pemusik kontemporer Indonesia

SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA


Sutan Takdir Alisjahbana
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sutan Takdir Alisjahbana
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 - Jakarta, 17 Juli 1994), adalah sastrawan Indonesia. Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987).

Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968).
Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994).
Daftar isi[sembunyikan]
1 Masa Kecil
2 Keterlibatan dengan Balai Pustaka
3 Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
4 Karya-karyanya
5 Penghargaan
6 Lain-lain
7 Pranala luar
//

[sunting] Masa Kecil
Ayah STA, Raden Alisyahbana Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional (pokrol bambu), dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepakbola yang handal. Kakek STA dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas, dan di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

[sunting] Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

[sunting] Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setalah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967)

[sunting] Karya-karyanya
Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
Layar Terkembang (novel, 1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
Pelangi (bunga rampai, 1946)
Pembimbing ke Filsafat (1946)
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
The Indonesian language and literature (1962)
Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
The failure of modern linguistics (1976)
Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
Kalah dan Menang (novel, 1978)
Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Buku yang dieditorinya: Kreativitas (kumpulan esai, 1984) dan Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Terjemahannya: Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944), Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944).
Buku mengenai STA: Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) dan S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006).

[sunting] Penghargaan
Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan "Pujangga Baru".

[sunting] Lain-lain
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur bahasa melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantara kawasan.

Y.B. MANGUNWIJAYA



Yusuf Bilyarta Mangunwijaya
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Dialihkan dari Y.B. Mangunwijaya)
Langsung ke: navigasi, cari
Romo Mangun

Lahir
Ambarawa, 6 Mei 1929
Meninggal
Jakarta, 10 Februari 1999
Bidang
budaya, pendidikan, arsitektur






Yusuf Bilyarta Mangunwijaya (Ambarawa, Kabupaten Semarang 6 Mei 1929 - Jakarta 10 Februari 1999), dikenal sebagai budayawan, arsitek, penulis, rohaniwan, aktivis dan pembela 'wong cilik'. Anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.
Yusuf Bilyarta Mangunwijaya yang akrab dipanggil dengan Romo Mangun dikenal melalui novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar. Mendapatkan penghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996. Beliau banyak melahirkan kumpulan novel seperti di antaranya: Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa, Roro Mendut, Durga/Umayi, Burung-Burung Manyar dan esai-esainya tersebar di berbagai surat kabar di Indonesia. Bukunya Sastra dan Religiositas mendapat penghargaan buku non-fiksi terbaik tahun 1982.
Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang pernah diterimanya adalah Aga Khan Award, yang merupakan penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di tepi kali Code, Yogyakarta.
Kekecewaan Romo terhadap sistem pendidikan di Indonesia menimbulkan gagasan-gagasan di benaknya. Dia lalu membangun Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Sebelumnya, Romo membangun gagasan SD yang eksploratif pada penduduk korban proyek waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah, serta penduduk miskin di pinggiran Kali Code, Yogyakarta.
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan dengan 'politik suara hati nurani' menjadikan dirinya beroposisi selama pemerintahan Soeharto.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Pendidikan
2 Biografi
3 Karya Arsitektur
4 Penghargaan
5 Buku dan tulisan
6 Buku tentang Romo Mangun
7 Pranala luar
//

[sunting] Pendidikan
HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang (1936-1943)
STM Jetis, Yogyakarta (1943-1947)
SMU-B Santo Albertus, Malang (1948-1951)
Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta (1951)
Seminari Menengah Santo Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang (1952)
Filsafat Teologi Sancti Pauli, Kotabaru, Yogyakarta (1953-1959)
Teknik Arsitektur, ITB, Bandung (1959)
Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1960-1966)
Fellow Aspen Institute for Humanistic Studies, Colorado, AS (1978)

[sunting] Biografi
1936
Masuk HIS Fransiscus Xaverius, Muntilan, Magelang.
1943
Tamat HIS, meneruskan ke STM Jetis, Yogyakarta.
Ikut kingrohosi yang diadakan tentara Jepang di lapangan Balapan, Yogyakarta.
Mulai tertarik mempelajari sejarah dunia dan filsafat.
1944
STM Jetis dibubarkan, dan dijadikan markas perjuangan tentara RI.
Ikut aksi pencurian mobil-mobil tentara Jepang.
1945
Menjadi prajurit TKR Batalyon X divisi III. Bertugas di asrama militer di Benteng Vrederburg, lalu di asrama militer di Kotabaru, Yogyakarta. Ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen.
1946
Melanjutkan sekolah di STM Jetis.
Menjadi prajurit Tentara Pelajar, pernah bertugas menjadi supir pendamping Panglima Perang Sri Sultan Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan.
1947
Lulus STM Jetis.
Saat Agresi Militer Belanda I, tergabung dalam TP Brigade XVII sebagai komandan TP Kompi Kedu.
1948
Masuk SMU-B Santo Albertus, Malang
1950
Sebagai perwakilan dari Pemuda Katolik menghadiri perayaan kemenangan RI di alun-alun kota Malang. Di sini Mangun mendengar pidato Mayor Isman yang kemudian sangat berpengaruh bagi masa depannya.
1951
Lulus SMU-B Santo Albertus, melanjutkan ke Seminari Menengah di Kotabaru.
1952
Pindah ke Seminari Menengah Petrus Kanisius, Mertoyudan, Magelang.
1953
Melanjutkan ke Seminari Tinggi. Sekolah di Institut Filsafat dan Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Salah satu pengajarnya adalah Uskup Soegijapranata, SJ.
1959
8 September ditahbiskan menjadi Imam oleh Uskup Agung Semarang Mgr. Soegijapranata, SJ.
Melanjutkan pendidikan di Teknik Arsitektur ITB.
1960
Melanjutkan pendidikan di Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman.
1963
Menemani saat Uskup Soegijapranata meninggal dunia di biara suster Pusat Penyelenggaraan Ilahi di Harleen, Belanda
1966
Lulus pendidikan arsitektur dan kembali ke Indonesia.
1967-1980
Menjadi Pastor Paroki di Gereja Santa Theresia, Desa Salam, Magelang.
Mulai berhubungan dengan pemuka agama lain, seperti Gus Dur dan Ibu Gedong Bagoes Oka.
Menjadi Dosen Luar Biasa jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UGM.
Mulai menulis artikel untuk koran Indonesia Raya dan Kompas, tulisan-tulisannya kebanyakan bertema: agama, kebudayaan, dan teknologi. Juga menulis cerpen dan novel.
1975
Memenangkan Piala Kincir Emas, dalam cerpen yang diselenggarakan Radio Nederland.
1978
Atas dorongan Dr. Soedjatmoko, Romo Mangun mengikuti kuliah singkat tentang masalah kemanusiaan sebagai Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, AS.
1980-1986
Mendampingi warga Kali Code yang terancam penggusuran. Melakukan mogok makan menolak rencana penggusuran.
1986-1994
Mendampingi warga Kedung Ombo yang menjadi korban pembuatan waduk.
1992
Mendapat The Aga Khan Award untuk arsitektur kali Code
1994
Mendirikan laboratorium Dinamika Edukasi Dasar. Model pendidikan DED ini diterapkan di SD Kanisius Mangunan, di Kalasan, Sleman, Yogyakarta.
1998
26 Mei, Romo Mangun menjadi salah satu pembicara utama dalam aksi demonstrasi peringatan terbunuhnya Moses Gatutkaca di Yogyakarta.
10 Februari 1999
Wafat karena serangan jantung, setelah memberikan ceramah dalam seminar Meningkatkan Peran Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Indonesia Baru di Hotel Le Meridien, Jakarta.

[sunting] Karya Arsitektur
Pemukiman Kali Code, Yogyakarta
Kompleks Sendangsono
Gedung Keuskupan Agung Semarang
Gedung Bentara Budaya, Jakarta
Gereja Katolik Jetis, Yogyakarta
Gereja Katolik Cilincing, Jakarta
Markas Kowihan II
Biara Trappist Gedono, Salatiga, Semarang

[sunting] Penghargaan
Penghargaan Kincir Emas untuk penulisan cerpen dari Radio Nederland
Aga Khan Award for Architecture untuk permukiman Kali Code, Yogyakarta [1]
Penghargaan arsitektur dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) untuk tempat peziarahan Sendang Sono.
Pernghargaan sastra se-Asia Tenggara Ramon Magsaysay pada tahun 1996

[sunting] Buku dan tulisan
Balada Becak, novel, 1985
Balada dara-dara Mendut, novel, 1993
Burung-Burung Rantau, novel, 1992
Burung-Burung Manyar, novel, 1981
Di Bawah Bayang-Bayang Adikuasa, 1987
Durga Umayi, novel, 1985
Esei-esei orang Republik, 1987
Fisika Bangunan, buku Arsitektur, 1980
Gereja Diaspora, 1999
Gerundelan Orang Republik, 1995
Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa, novel, 1983
Impian Dari Yogyakarta, 2003
Kita Lebih Bodoh dari Generasi Soekarno-Hatta, 2000
Manusia Pascamodern, Semesta, dan Tuhan: renungan filsafat hidup, manusia modern, 1999
Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 1999
Menjadi generasi pasca-Indonesia: kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, 1999
Menuju Indonesia Serba Baru, 1998
Menuju Republik Indonesia Serikat, 1998
Merintis RI Yang Manusiawi: Republik yang adil dan beradab, 1999
Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein, 1999
Pemasyarakatan susastra dipandang dari sudut budaya, 1986
Pohon-Pohon Sesawi, novel, 1999
Politik Hati Nurani
Puntung-Puntung Roro Mendut, 1978
Putri duyung yang mendamba: renungan filsafat hidup manusia modern
Ragawidya, 1986
Romo Rahadi, novel, 1981 (terbit dengan nama samaran Y. Wastu Wijaya)
Roro Mendut, Genduk Duku, Lusi Lindri, novel trilogi, 1983-1987
Rumah Bambu, kumpulan cerpen, 2000
Sastra dan Religiositas, kumpulan esai, 1982
Saya Ingin Membayar Utang Kepada Rakyat, 1999
Soeharto dalam Cerpen Indonesia, 2001
Spiritualitas Baru
Tentara dan Kaum Bersenjata, 1999
Tumbal: kumpulan tulisan tentang kebudayaan, perikemanusiaan dan kemasyarakatan, 1994
Wastu Citra, buku Arsitektur, 1988

[sunting] Buku tentang Romo Mangun
Romo Mangun Di Mata Para Sahabat, Abdurrahman Wahid, Kanisius, 1999
Y.B. Mangunwijaya, Pejuang Kemanusiaan, Priyanahadi dkk, Kanisius, 1999
Tektonika Arsitektur YB. Mangunwijaya, Eko A. Prawoto, Cemeti Art House Yogyakarta, 1999
Romo Mangun Imam bagi Kaum Kecil, Purwatma Pr, Kanisius, 2001
Mendidik Manusia Merdeka, Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun, Sumartana dkk, Institut Dian/Interfedei dan Pustaka Pelajar, 1995
Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Sindhunata, Kanisius, 1999
Menjadi Generasi Pasca-Indonesia, Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, Kanisius, 1999
Romo Mangun Sahabat Kaum Duafa, Iip D. Yahya dan I.B. Shakuntala, Kanisius, 2005