Monday, April 14, 2008

SITOR SITUMORANG

Rindu Kelana
Pilihan Sajak 1948- 1993

SAJAK-SAJAK
01. Kaliurang (Tengah Hari)02. Lereng Merapi03. Perhitungan04. Dia dan Aku05. Surat Kertas Hijau06. Amoy-Aimee07. Kebun Binatang08. Matahari Minggu09. Chathedrale de Chartres10. The Tale of Two Continents11. Sajak12. Paris-Janvier13. Place St.Sulpice14. Pont Neuf15. Kepada Anakku16. Alberquerque17. Si Anak Hilang18. Dataran Tinggi19. Jalan Batu ke Danau20. Lagu Gadis Tali21. Matinya Juara Judi22. Potret Ibu23. Kututup Jendela24. Jalan Lempang25. Mme Omnes26. Kawan27. Cinta28. Bunga29. Kepada Kawan30. Condition31. Paris-la-Nuit32. The Beginning of the End33. Malam Lebaran34. Bangun35. La Ronde36. Sungai Bening37. Kristus di Medan Perang38. Lagu Perempuan39. Kolam Renang40. Ziarah dalam Gereja Gunung41. Dari Pantun Lama42. Sungai43. Lukisan Gadis-gadis44. Ulang Tahun45. Cerita Musim Rontok46. Membalas Surat Bapak47. 196148. Apa Yang Tak Dapat Kau Hancurkan49. Semua Serba Kusut, Sayang50. Potret Ibu oleh Affandi.
51. Khatulistiwa52. Pulau di Atas Pulau53. Pergola54. Surat Pertama55. Harianboho56. Gerbang57. Sajak Luar Kepala58. Amsterdam 196559. Boulevard Montparnasse60. Jam 8 Malam61. Belajar Kembali Alifbata62. Paskah Maria Magdalena63. Di Kaki Pusuk Buhit64. Danau Toba65. Tamasya Danau Toba66. Upacara di Rumah Adat67. Balige68. Jakarta Malam69. Si Anak Hilang70. Hamilku71. Azan Subuh72. Kapal Hilir-Mudik di Sungai Benua Eropa73. Paris 197774. Mimpi dalam Mimpi (1)75. Mimpi dalam Mimpi (2)76. Sajak, Pembaca, dan Penyair77. Kisah Harimau Sumatra78. Porta Nigra79. Jamuan di Tashkent80. Lagu Jembatan Putih81. Lagu Anak-anak "Naik Kereta Api"82. Perpisahan83. Elang di Atas Lembah84. Surat85. Permata Zamrud di Khatulistiwa86. Hujan Kota London87. Peta Perjalanan88. PantaiSitor Situmorang
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari
Sitor Situmorang (lahir 24 Oktober 1924 di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara)dengan nama Raja Usu adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.

[sunting] Pendidikan
Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Jakarta. Ia sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris (1950-1952). Tahun 1956-57 ia memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California. Setelah keluar dari tahanan politik, ia tinggal di Leiden (1982-1990) lalu Islamabad (1991).

Pekerjaan
Karirnya dimulai sebagai wartawan harian Suara Nasional (Tarutung, 1945), Waspada (Medan,1947), Berita Indonesia, dan Warta Dunia (Jakarta, 1957). Ia pernah menjadi dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (Jakarta), anggota MPRS dari kalangan seniman, Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-65), lalu ditahan pemerintahan Orde Baru.

Karya tulis
Karyanya antara lain kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat hadiah sastra nasional 1955, kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta 1976, otobiografi : Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (1981); sejarah lokal: Toba na Sae (1993) dan Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (1993). Laut Utara89. Melintas Padang Salju90. Lukisan di Tembok91. Kucupan Pagi92. Bayang-Bayang93. Silsilah94. Ziarah95. Tamasya Setua Bumi, 198896. Passau97. Affandi Penghuni Rumah Pohon98. Angin Danau Zürich99. Teater Yunani di Epidaurus100. Tertegun Memandang Kota Koblenz

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Langsung ke: navigasi, cari
Sitor Situmorang (lahir 24 Oktober 1924 di Harianboho, Samosir, Sumatera Utara)dengan nama Raja Usu adalah wartawan, sastrawan, dan penyair Indonesia. Ayahnya adalah Ompu Babiat Situmorang yang pernah berjuang melawan tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII.
Pendidikan
Sitor menempuh pendidikan di HIS di Balige dan Sibolga serta MULO di Tarutung kemudian AMS di Jakarta. Ia sempat berkelana ke Amsterdam dan Paris (1950-1952). Tahun 1956-57 ia memperdalam ilmu sinematografi di Universitas California. Setelah keluar dari tahanan politik, ia tinggal di Leiden (1982-1990) lalu Islamabad (1991).

Pekerjaan
Karirnya dimulai sebagai wartawan harian Suara Nasional (Tarutung, 1945), Waspada (Medan,1947), Berita Indonesia, dan Warta Dunia (Jakarta, 1957). Ia pernah menjadi dosen Akademi Teater Nasional Indonesia (Jakarta), anggota MPRS dari kalangan seniman, Ketua Lembaga Kebudayaan Nasional (1959-65), lalu ditahan pemerintahan Orde Baru
Karya tulis
Karyanya antara lain kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat hadiah sastra nasional 1955, kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta 1976, otobiografi : Sitor Situmorang Sastrawan 45, Penyair Danau Toba (1981); sejarah lokal: Toba na Sae (1993) dan Guru Somalaing dan Modigliani Utusan Raja Rom (1993).

NH. DINI



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari


Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin (lahir di Semarang, Jawa Tengah, 29 Februari 1936) atau lebih dikenal dengan nama NH Dini adalah sastrawan, novelis, dan feminis Indonesia.

Sejarah hidup
NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul, ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul".


NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.


Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan sekolah bagi calon masinis kereta api.


Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.


Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Karier
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.


Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan. Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya. Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, seperti komentar Putu Wijaya; 'kebawelan yang panjang.'


Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.


Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia (RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.


Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.


Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.


Ia mengakui bahwa produktivitasnya dalam menulis termasuk lambat. Ia mengambil contoh bukunya yang berjudul Pada Sebuah Kapal, prosesnya hampir sepuluh tahun sampai buku itu terbit padahal mengetiknya hanya sebulan. Baginya, yang paling mengasyikkan adalah mengumpulkan catatan serta penggalan termasuk adegan fisik, gagasan dan lain-lain. Ketika ia melihat melihat atau mendengar yang unik, sebelum tidur ia tulis tulis dulu di blocknote dengan tulis tangan.


Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai cerita.


Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36 tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.


Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.


Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.


Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit 1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.


Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.


Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk menutupi biaya makan dan pengobatan.


Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka. Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.


Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah, mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh, Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya. Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia yang semula menetap di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok Sekayu, Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.


Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. Ia merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
Ia juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang. Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan kemampuan kreatifnya.


Menyinggung soal seks, khususnya adegan-adegan yang dimunculkan dalam karya-karyanya, ia menganggapnya wajar-wajar saja. Begitulah spontanitas penuturan pengarang yang pengikut kejawen ini. la tak sungkan-sungkan mengungkapkan segala persoalan dan kisah perjalanan hidupnya melalui karya-karya yang ditulisnya

IDRUS

Idrus
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Idrus (Padang, 21 September 1921 - Padang, 18 Mei 1979, Sumatera Barat) adalah seorang sastrawan Indonesia. Ia menikah dengan Ratna Suri, pada tahun 1946. Mereka dikaruniai enam orang anak, empat putra dan dua putri, yaitu Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.
Daftar isi
Dunia Sastra
Perkenalan Idrus dengan dunia sastra sudah dimulainya sejak duduk di bangku sekolah, terutama ketika di bangku sekolah menengah. Ia sangat rajin membaca karya-karya roman dan novel Eropa yang dijumpainya di perpustakaan sekolah. Ia pun sudah menghasilkan cerpen pada masa itu.
Minatnya pada dunia sastra mendorongnya untuk memilih Balai Pustaka sebagai tempatnya bekerja. Ia berharap dapat menyalurkan minat sastranya di tempat tersebut, membaca dan mendalami karya-karya sastra yang tersedia di sana dan berkenalan dengan para sastrawan terkenal. Keinginannya itu pun terwujud, ia berkenalan dengan H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisyahbana, Noer Sutan Iskandar, Anas Makruf, dan lain-lain.
Meskipun menolak digolongkan sebagai sastrawan Angkatan ’45, ia tidak dapat memungkiri bahwa sebagian besar karyanya memang membicarakan persoalan-persoalan pada masa itu. Kekhasan gayanya dalam menulis pada masa itu membuatnya memperoleh tempat terhormat dalam dunia sastra, sebagai Pelopor Angkatan ’45 di bidang prosa, yang dikukuhkan H.B. Jassin dalam bukunya.
Hasratnya yang besar terhadap sastra membuatnya tidak hanya menulis karya sastra, tetapi juga menulis karya-karya ilmiah yang berkenaan dengan sastra, seperti Teknik Mengarang Cerpen dan International Understanding Through the Study of Foreign Literature. Kemampuannya menggunakan tiga bahasa asing (Belanda, Inggris, dan Jerman) membuatnya berpeluang untuk menerjemahkan buku-buku asing. Hasilnya antara lain adalah Perkenalan dengan Anton Chekov, Perkenalan dengan Jaroslov Hask, Perkenalan dengan Luigi Pirandello, dan Perkenalan dengan Guy de Maupassant.
Karena tekanan politik dan sikap permusuhan yang dilancarkan oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat terhadap penulis-penulis yang tidak sepaham dengan mereka, Idrus terpaksa meninggalkan tanah air dan pindah ke Malaysia. Di Malaysia, lepas dari tekanan Lekra, ia terus berkarya. Karyanya saat itu, antara lain, Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963).
Di dalam dunia sastra, kehebatan Idrus diakui khalayak sastra, terutama setelah karyanya Surabaya, Corat-Coret di Bawah Tanah, dan Aki diterbitkan. Ketiga karyanya itu menjadi karya monumental. Setelah ketiga karya itu, memang, pamor Idrus mulai menurun. Namun tidak berarti ia lantas tidak disebut lagi, ia masih tetap eksis dengan menulis kritik, esai, dan hal-hal yang berkenaan dengan sastra di surat kabar, majalah, dan RRI (untuk dibacakan).

Karya-karya

Novel
Surabaya
Aki
Perempuan dan kebangsaan
Dengan Mata Terbuka
Hati Nurani Manusia
Hikayat Putri Penelope
Hikayat Petualang Lima
Cerpen
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
Anak Buta

Drama
Dokter Bisma
Jibaku Aceh
Keluarga Surono
Kejahatan Membalas Dendam

Karya Terjemahan
Kereta Api Baja
Roti Kita Sehari-hari
Keju
Perkenalan dengan Anton Chekov
Cerita Wanita Termulia
Dua Episode Masa Kecil
Ibu yang Kukenang
Acoka
Dari Penciptaan Kedua

MUHAMAD YAMIN



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sampul Buku Muhammad Yamin dan cita cita persatuan
Prof. Muhammad Yamin, SH (Sawahlunto, 24 Agustus 1903Jakarta, 17 Oktober 1962) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia.
Beliau merupakan salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga 'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Biografi
1.1 Kesusasteraan
1.2 Politik
2 Karya-karyanya
3 Lihat pula
4 Pranala luar


Biografi

Kesusasteraan
Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin memulakan karir sebagai seorang penulis pada dasawarsa1920-an semasa puisi Indonesia mengalami romantisisme yang hebat. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih terikat kepada kata-kata basi bahasa Melayu Klasik.


Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya, novel modern utama yang pertama dalam bahasa Melayu juga muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli yang juga merupakan seorang anak Minangkabau. Karya-karya Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .


Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir dekad 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pembentuk-pembentuk utama bahasa Melayu-Indonesia dan kesusasteraannya.


Walaupun Yamin menguji kaji bahasa dalam puisi-puisinya, dia masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Beliau juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Politik
Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang hukum di Jakarta. Beliau kemudian bekerja dalam bidang hukum Internasional di Jakarta sehingga tahun 1942. Karir politiknya dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis. Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam kesusasteraan inovatif.


Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, Yamin bertugas dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah Jepun. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) diasaskan serta juga bahwa negara yang baru harus merangkumi Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPKI menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.


Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi, sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat.

Karya-karyanya
Tanah Air, 1922
Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
Ken Arok dan Ken Dedes, 1934
Sedjarah Peperangan Dipanegara , 1945
Gadjah Mada, 1948
Revolusi Amerika, 1951


Indonesian historian, poet, playwright, and politician, member of the leftist Murba Party. Yamin became President Sukarno's principal 'myth-maker'. He started his career as a writer in the 1920s, when Indonesian poetry was marked by an intense and largely reflective romanticism.
Di atas batasan Bukit Barisan Memandang beta ke bawah memandang Tampaklah hutan rimba dan ngarai lagi pun sawah, telaga nan permai : Serta gerangan lihatlah pula Langit yang hijau bertukar warna Oleh pucuk daun kelapa : Itulah tanah airku Sumatera namanya tumpah darahku. (from 'Tanah Air')


Minangkabau Muhammad Yamin was one of the pioneers of modern poetry in Indonesia. He was born in Sawah Lunto in West-Sumatra. Yamin started to write in Malaya in the Dutch-language journal Jong Sumatra in 1920, but his early works were still tied to the clichés used in Classical Malay. Yamin debuted as a poet with Tanah Air ('fatherland') in 1922. It was the first collection of modern Malay verse to be published. However, the first important modern novel in Malay, Sitti Nurbaya by Minangkabau Marah Rusli, had appeared in 1922. Rusli's work enjoyed ten years of great popularity. The 'fatherland' to which the title of Yamin's book referred, was not Indonesia but Sumatra. In the title poem In it, Yamin stands on the hills of his native Minangkabau country, praising its natural beauty. Yamin's second collection, Tumpah Darahku, appeared on 28 October, 1928. The date was historically important - then Muhammad Yamin and his fellow nationalists resolved to revere a single - Indonesian - homeland, race and language. His play, Ken Arok dan Ken Dedes, which took its subject from Java's history, appeared also 1928. From the late 1920s until 1933 Roestam Effendi, Sanusi Pané with his poems (Madah Kelana, 1931) and plays (Kertadjaja, 1932; Sandhyakala ning Majapahit, 1933), and Sutan Takdir Alisjahbana were the principal shapers of the Malay language and its literature.


Yamin studied law in Jakarta, graduating in 1932. He worked in Jakarta until 1942 specializing in international law. Yamin's political career started early and he was a active in nationalist movements. In 1928 the Second Congress of Indonesian Youth proclaimed Malay, since known as Indonesian (Bahasa Indonesia), the language of the Indonesian nationalist movement. Yamin made an initiative through the organization Indonesia Muda, that Bahasa Indonesia is made as the foundation of a national language. Today it is the republic's official language and the principal vehicle for innovative literary expression. Also attempts at writing modern literature have been made in most of Indonesian major regional languages.


During the Japanese occupation (1942-1945) Yamin worked for the Japanese-sponsored confederation of nationalist organizations, the Center of People's Power (Putera). In 1945 Yamin suggested to BPUPKI, a committee preparing Indonesian's independence process, that the new nation should include Sarawak, Sabah, Malaya, and Portuguese Timor, as well as all the territories of the Netherlands Indies. Achmad Sukarno (1901-1970), who was a member of BPUPKI, supported Yamin. Sukarno became in 1945 the first President of Indonesian republic. Under Sukarno's long period of power - he was he was stripped of office in 1967 - Indonesia became a leader of the Third World, and developed close ties with China and the U.S.S.R. During and after the struggle for independence Yamin held important posts in the governmental administration. Yamin died in Jakarta on October 17, 1962.


Yamin's first works appeared in the 1920s. He made much use of the sonnet form, borrowed from Dutch literature. At that time among the major writers were national activist Abdoel Moeis (1898-1959), whose central theme was the interaction of Indonesian and European value system. In 1936 appeared Pandji Tisna's (1908-1978) Sukreni, gadis Bali, possibly the most original work of pre-independence fiction, which dealt with the destructive effect of contemporary commercial ethics on Balinese society. Distinctly innovative poetry began to appear in the 1910s. The European sonnet form was especially popular, but the influence of traditional verse forms remained strong. Although Yamin experimented with the language in his poetry, he uphold the classical norms of Malay more than the younger generation of writers, who gradually improved on the new poertry. Yamin also published plays, essays, historical novels and poems, and translated works from such authors as Shakespeare (Julius Caesar) and Tagore.
Indonesian literature from the 1920s to the 1960s: The earliest Indonesian novels were published in the 1920s. Pudjangga Baru (The New Writer) literary school, which was established in 1933, influenced greatly the development of literature. Its founder and first editors were Sutan Takdir Alisjahbana, and Arminjn Pané, brother of Sanusi Pané. Pudnjagga Baru advocated the idea that traditional literary forms had to be replaced by moderrn means of expression. Another movement, 45 Group, reflected the ideas of the independence struggle. Among its members was the poet Chairil Anwar, who died at the age of 27, but released the poetry from the bonds of traditional forms and literary language. Other important writers: Sanuse Pané, Idrus, Surwarsih Djojopuspito, Achdiat Karta Mihardja, Toha Mohtar, Mochtar Lubis (imprisoned by the Sukarno regime for four years), Pramoedye Ananta Toer. The first Indonesian dramatist to gain wide recognition was Utuy Tatang Sontani (1820-1979). Poetry in Javanese since independence has been dominated by St. Iesmaniasita and by Muryalelana (b. 1932), preindependence fiction in Sundanese was almost synonymous with the name of Mohamad Ambri (1892-1936). The finest Chinese-Indonesian novelist was Liem King-hoo. The most substantial work of fiction in Dutch by an Indonesian author was the novel Buiten het gareel (1940) by Suwarsih Djojopuspito. - For further reading: Modern Indonesian Literature by A. Teeuw (1979); The Emergence of the Novel in Modern Indonesian and Malaysian Literature by Ali A. Wahab (1991); 'Southeast Asian Novel: Indonesia' in Encyclopedia of the Novel, Vol 2., ed. by Paul Schellinger (1998) -


For further information: Tanah Air -
Selected works:
TANAH AIR, 1922
INDONESIA, TUMPAH DARAHKU, 1928
KEN AROK DAN KEN DEDES, 1934
SEDJARAH PEPERANGAN DIPANEGARA, 1945
GAJA MADA, 1948
REVOLUSI AMERIKA, 1951

SUTARDJI CALZOUM BACHRI



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Sutardji Calzoum Bachri (lahir 1941 di Riau) adalah pujangga Indonesia terkemuka. Setelah lulus SMA Sutardji Calzoum Bachri melanjutkan studinya ke Fakultas Sosial Politik Jurusan Administrasi Negara, Universitas Padjadjaran, Bandung. Pada mulanya Sutardji Calzoum Bachri mulai menulis dalam surat kabar dan mingguan di Bandung, kemudian sajak-sajaknyai dimuat dalam majalah Horison dan Budaya Jaya serta ruang kebudayaan Sinar Harapan dan Berita Buana.




Dari sajak-sajaknya itu Sutardji memperlihatkan dirinya sebagai pembaharu perpuisian Indonesia. Terutama karena konsepsinya tentang kata yang hendak dibebaskan dari kungkungan pengertian dan dikembalikannya pada fungsi kata seperti dalam mantra.
Pada musim panas 1974, Sutardji Calzoum Bachri mengikuti Poetry Reading International di Rotterdam. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing Program di Iowa City, Amerika Serikat dari Oktober 1974 sampai April 1975. Sutardji juga memperkenalkan cara baru yang unik dan memikat dalam pembacaan puisi di Indonesia.
Sejumlah sajaknya telah diterjemahkan Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan dalam antologi Arjuna in Meditation (Calcutta, India), Writing from the World (Amerika Serikat), Westerly Review (Australia) dan dalam dua antologi berbahasa Belanda: Dichters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststichting, 1975) dan Ik wil nog duizend jaar leven, negen moderne Indonesische dichters (1979). Pada tahun 1979, Sutardji dianugerah hadiah South East Asia Writer Awards atas prestasinya dalam sastra di Bangkok, Thailand.
O Amuk Kapak merupakan penerbitan yang lengkap sajak-sajak Calzoum Bachri dari periode penulisan 1966 sampai 1979. Tiga kumpulan sajak itu mencerminkan secara jelas pembaharuan yang dilakukannya terhadap puisi Indonesia modern.
Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Sutardji_Calzoum_Bachri"

RAMADHAN K.H.



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke:
navigasi, cari

Ramadhan K.H. yang nama lengkapnya adalah Ramadhan Karta Hadimadja, dilahirkan di
Bandung pada 16 Maret 1927, dan meninggal di rumahnya di Cape Town, Afrika Selatan pada 16 Maret 2006 setelah menderita kanker prostat selama ±3 bulan.
Kang Atun, panggilan akrab Ramadhan, adalah anak ketujuh dari sepuluh bersaudara. Ayahnya, Rd. Edjeh Kartahadimadja, adalah seorang patih Kabupaten Bandung pada masa kekuasaan Hindia Belanda. Ia dilahirkan dari perkawinan ayahnya dengan Saidah. Aoh K. Hadimadja (1911 - 1972) yang juga dikenal sebagai penyair dan novelis itu, adalah kakak kandung seayah Ramadhan yang lahir dari rahim istri pertama ayahnya yakni Rd. Djuwariah binti Martalogawa. Ketika usia Ramadhan masih belum genap tiga bulan, ayahnya terpikat perempuan lain dan menceraikan Saidah yang langsung dikembalikan ke kampung. Pengalaman tersebut membuat ia dekat dengan sosok ibu dan menghayati derita kaum perempuan.
Daftar isi[
sembunyikan]
1 Pendidikan dan pekerjaan
2 Korban fitnah
3 Menulis biografi Presiden Soeharto
4 Akhir hayat
5 Karya-karya Ramadhan
5.1 Biografi
5.2 Novel
5.3 Puisi
5.4 Terjemahan
5.5 Lain-lain
6 Pranala luar
//

[sunting] Pendidikan dan pekerjaan
Ramadhan pernah bekerja selama 13 tahun sebagai wartawan
Antara. Lalu, dia minta berhenti karena tak tahan melihat merajalelanya korupsi waktu itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa ITB dan Akademi Dinas Luar Negeri di Jakarta, kedua-duanya tidak tamat. Dia juga pernah bertugas sebagai Redaktur Majalah Kisah, Redaktur Mingguan Siasat dan Redaktur Mingguan Siasat Baru.
Semasa hidupnya Ramadhan terkenal sebagai penulis yang kreatif dan produktif. Ia banyak menulis puisi, cerpen, novel, biografi, dan menerjemahkan serta menyunting.
Kumpulan puisinya yang diterbitkan dengan judul "Priangan Si Djelita" (1956), ditulis saat Ramadhan kembali ke Indonesia dari perjalanan di Eropa pada 1954. Kala itu, ia menyaksikan tanah kelahirannya,
Jawa Barat, sedang bergejolak akibat berbagai peristiwa separatis. Kekacauan sosial politik itu mengilhaminya menulis puisi-puisi tersebut.
Sastrawan
Sapardi Djoko Damono, menilai buku tersebut sebagai puncak prestasi Ramadhan di dunia sastra Indonesia. Menurut Sapardi, buku itu adalah salah satu buku kumpulan puisi terbaik yang pernah diterbitkan di Indonesia. "Dia adalah segelintir, kalau tidak satu-satunya, sastrawan yang membuat puisi dalam format tembang kinanti," papar Sapardi.
Pada tahun-tahun terakhir hidupnya Ramadhan tinggal di Capetown mengikuti istrinya,
Salfrida Nasution, yang bertugas sebagai Konsul Jenderal Republik Indonesia di kota itu. Sebelumnya ia pernah tinggal di Los Angeles, Paris, Jenewa, dan Bonn, menyertai istrinya yang terdahulu, Pruistin Atmadjasaputra, juga seorang diplomat, yang dikenal dengan panggilan "Tines". Tines, yang dinikahinya pada 1958, mendahuluinya pada 10 April 1990 di Bonn, Jerman. Setelah ditinggal istrinya, pada tahun 1993 Ramadhan menikah kembali dengan Salfrida, seorang sahabat istrinya yang pernah menyumbangkan darahnya ketika Tines sakit.

[sunting] Korban fitnah
Pada tahun
1965 Ramadhan sempat ditahan selama 16 hari di Kamp Kebon Waru, Bandung, bersama-sama dengan Dajat Hardjakusumah, ayah kelompok pemusik Bimbo yang saat itu menjabat pimpinan Kantor Antara Cabang Bandung.
Keduanya ditahan karena dilaporkan bertemu
A. Karim DP dan Satyagraha, pimpinan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat yang masa itu dianggap berideologi kiri dan mendukung G-30-S. Oleh karena itu, mereka juga dianggap pendukung G-30-S. Belakangan ia baru tahu bahwa mereka difitnah kelompok lain dapat menguasai kantor Antara cabang Bandung. Sesudah enam belas hari dalam tahanan, keduanya dibebaskan dan pimpinan pusat Antara memindahkannya ke Jakarta. Ramadhan langsung pindah ke Jakarta.

[sunting] Menulis biografi Presiden Soeharto
Pada 1982, ketika tinggal di Jenewa, Ramadhan dihubungi oleh Kepala Mass Media
Sekretariat Negara di Jakarta, Gufran Dwipayana yang mengajaknya untuk menulis biografi Soeharto yang masih menjabat sebagai presiden R.I. waktu itu. Ramadhan mula-mula menolak, karena sebagai orang Jawa Barat merasa tak menguasai budaya Jawa, daerah asal Soeharto. Namun Soeharto sudah menjatuhkan pilihan pada Ramadhan.
Nama Ramadhan dipilih lantaran bukunya,
Kuantar ke Gerbang, biografi kisah cinta Inggit Garnasih dengan Presiden Soekarno sangat berkesan bagi Dwipayana, orang dekat Soeharto, yang dipercayai menentukan calon penulis biografi Soeharto.
Selama penulisan biografi Soeharto hanya dua kali Kartahadimadja bertemu dengan orang terkuat di masa Orde Baru. Pertanyaan di luar pertemuan itu diajukan Kartahadimadja dengan cara merekamnya. Lalu rekaman itu dititipkannya lewat Dwipayana, yang setiap Jumat bertemu Soeharto. Berdasarkan rekaman jawaban itulah Ramadhan lebih banyak bekerja.
Penulisan biografi Soeharto membuat Ramadhan merasa tertekan, tak sama dengan ketika dia menulis buku biografi tokoh lain. Dia merasa berat melakukannya karena takut salah tulis atau malah ditangkap.
Ramadhan biasanya mengajak seorang atau lebih penulis lain untuk menulis biografi. Selain meringankan tugas, sekiranya dia berhalangan, sakit, atau meninggal dunia, penulisan buku itu tidak terhenti.
Tidak selamanya perjalanan Ramadhan dalam menulis berjalan mulus. Rencana menulis biografi
Ibnu Soetowo, mantan Direktur Utama Pertamina, dan Wiweko, tokoh penerbangan nasional, gagal lantaran perselisihan antara narasumber dengan rekan Kartahadimadja yang membantunya menulis. Penulisan biografi Yulia Sukamdani juga batal karena permintaan suaminya.
Setelah Tines berpulang, Ramadhan kembali ke Indonesia bersama kedua anaknya. Ia ingin menagih honor kepada Soeharto, tetapi Dwipayana sudah meninggal dunia. Sekretaris Militer Presiden Syaukat Banjaransari menyarankannya agar menulis surat langsung kepada Presiden. Beberapa hari kemudian datang telepon dari Kolonel
Wiranto, ajudan Presiden Soeharto. Ia diminta datang ke Jl. Cendana. Bersama Gumilang ia datang, masuk ke halaman, langsung diberi mobil Honda Accord warna merah. Mobil baru dengan jok terbungkus plastik. Namun Soeharto tidak menemuinya. Mereka hanya bertemu di depan garasi dan terbatas dengan Wiranto.

[sunting] Akhir hayat
Pada hari-hari terakhirnya, Ramadhan kembali menekuni kegemarannya di masa lalu, melukis. Salah satu tema lukisan kesayangannya adalah rangkaian pegunungan di belakang rumahnya di Cape Town.
Ia meninggal dunia tepat pada peringatan hari kelahirannya yang ke-79 tahun. Ia meninggalkan istrinya, Salfrida, dua orang putra dari Tines,
Gilang dan Gumilang, dan lima orang cucu.
Ramadhan pernah mendapatkan sejumlah penghargaan, antara lain "Hadiah Sastra ASEAN" (Southeast Asia Write Award) pada
1993. Pada tahun 2001 ia diangkat menjadi anggota kehormatan Perhimpunan Sejarahwan Indonesia. Selain itu Ramadhan juga merupakan salah seorang anggota Akademi Jakarta.

[sunting] Karya-karya Ramadhan

[sunting] Biografi
Kuantar ke Gerbang: kisah cinta kisah cinta Ibu Inggit dengan Bung Karno (1981)
Gelombang hidupku: Dewi Dja dari Dardanella (1982)
Soeharto pikiran, ucapan, dan tindakan saya: otobiografi (1988)
A.E. Kawilarang - untuk Sang Merah Putih: pengalaman, 1942- 1961 (1988)
Bang Ali demi Jakarta (1966-1977): memoar (1992)
Hoegeng, polisi idaman dan kenyataan: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Abrar Yusra) (1993)
Soemitro, mantan Pangkopkamtib: dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib (1994)
Gobel, pelopor industri elektronika Indonesia dengan falsafah usaha pohon pisang (1994)
Sjamaun Gaharu, cuplikan perjuangan di daerah modal: sebuah autobiografi (ditulis bersama dengan Hamid Jabbar, Sjamaun Gaharu) (1995)
D.I. Pandjaitan, pahlawan revolusi gugur dalam seragam kebesaran: biografi (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1997)
Demi bangsa - liku-liku pengabdian Prof. Dr. Midian Sirait: dari guru SR Porsea sampai Guru Besar ITB (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (1999)
H. Priyatna Abdurrasyid - dari Cilampeni ke New York: mengikuti hati nurani (2001)
H. Djaelani Hidajat - dari tukang sortir pos sampai menteri: sebuah otobiografi (ditulis bersama dengan Tatang Sumarsono) (2002)
Pergulatan tanpa henti - Adnan Buyung Nasution (dibantu dituliskan oleh Ramadhan K.H. dan Nina Pane) (2004)

[sunting] Novel
Rojan revolusi (1971)
Kemelut hidup (1977)
Keluarga Permana (1978)
Ladang Perminus (1990)

[sunting] Puisi
Priangan si Djelita: kumpulan sandjak (1956)
Am Rande des Reisfelds: zweisprachige Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadhan K.H. aus dem indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser = Pinggir sawah : antologi dwibahasa puisi Indonesia modern / disunting bersama dengan Berthold Damshäuser, diterjemahkan ke dalam
bahasa Jerman oleh Berthold Damshäuser (1990)
Gebt mir Indonesien zurück! - Anthologie moderner indonesischer Lyrik / herausgegeben von Berthold Damshäuser und Ramadhan K.H.; aus dem Indonesischen übersetzt von Berthold Damshäuser, mit einem Vorwort von Berthold Damshäuser (1994)
Jakarta & Berlin dalam cermin puisi: antologi dwibahasa dengan puisi mengenai Jakarta dan Berlin (2002)
Antologie Bilingue de la Poesie Indonesienne Contemporaine: antologi puisi dwibahasa Indonesia-Prancis (..)

[sunting] Terjemahan
Yerma: drama tragis dalam tiga babak dan enam adegan oleh
Federico García Lorca (1956)
Romansa Kaum Gitana oleh Federico García Lorca (1973)
Rumah Bernarda Alba oleh Federico García Lorca (1957)

[sunting] Lain-lain
Bola Kerandjang - liputan
Olimpiade Helsinki (1952) - bukunya yang pertama
Syair Himne Asian Games Jakarta (1963)
Menguak duniaku - kisah sejati kelainan seksual (ditulis bersama dengan R. Prie Prawirakusumah) (1988)
Amatan para ahli Jerman tentang Indonesia, disunting bersama dengan Berthold Damshäuser (1992)
Rantau dan renungan: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (1992)
Transmigrasi: harapan dan tantangan (1993)
Dari monopoli menuju kompetisi: 50 tahun telekomunikasi Indonesia sejarah dan kiat manajemen Telkom (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa, Abrar Yusra) (1994)
Mochtar Lubis bicara lurus: menjawab pertanyaan wartawan (1995)
Pers bertanya, Bang Ali menjawab (1995)
Rantau dan Renungan I: budayawan Indonesia tentang pengalamannya di Perancis (penyunting bersama dengan Jean Couteau, Henri Chambert-Loir) (1999)
Kita banyak berdusta - wawancara pers dan tulisan Laksamana Sukardi (penyunting bersama dengan Endo Senggono) (2000)
Peran historis Kosgoro (ditulis bersama dengan Sugiarta Sriwibawa) (2000)

EMHA AINUN NADJIB



Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Emha Ainun Nadjib (Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh intelektual yang mengusung nafas islami di Indonesia. Ia merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Pendidikan formalnya hanya berakhir di Semester 1 Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Sebelumnya dia pernah ‘diusir’ dari Pondok Modern Gontor Ponorogo karena melakukan ‘demo’ melawan pemerintah pada pertengahan tahun ketiga studinya, kemudian pindah ke Yogya dan tamat SMA Muhammadiyah I. Istrinya yang sekarang, Novia Kolopaking, dikenal sebagai seniman film, panggung, serta penyanyi.
Lima tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970-1975 ketika belajar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha.
Selain itu ia juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, Jerman (1985).
Dalam kesehariannya, Emha terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang merangkum dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensialitas rakyat. Di samping aktivitas rutin bulanan dengan komunitas Masyarakat Padang Bulan, ia juga berkeliling ke berbagai wilayah nusantara, rata-rata 10-15 kali per bulan bersama Musik Kiai Kanjeng, dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung. Selain itu ia juga menyelenggarakan acara Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta adalah forum silaturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas sangat terbuka, nonpartisan, ringan dan dibalut dalam gelar kesenian lintas genre.
Dalam pertemuan-pertemuan sosial itu ia melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metoda perhubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Teater
2 Puisi/Buku
3 Essai/Buku
4 Pranala luar
//

[sunting] Teater
Memacu kehidupan multi-kesenian Yogya bersama Halimd HD, jaringan kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan menghasilkan repertoar serta pementasan drama. Beberapa karyanya:
Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pemerintahan 'Raja' Soeharto),
Patung Kekasih (1989, tentang pengkultusan),
Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern),
Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern).
Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun),
Lautan Jilbab (1990, dipentaskan secara massal di Yogya, Surabaya dan Makassar),
Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993).
Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan.

[sunting] Puisi/Buku
Menerbitkan 16 buku puisi:
“M” Frustasi (1976),
Sajak-Sajak Sepanjang Jalan (1978),
Sajak-Sajak Cinta (1978),
Nyanyian Gelandangan (1982),
99 Untuk Tuhanku (1983),
Suluk Pesisiran (1989),
Lautan Jilbab (1989),
Seribu Masjid Satu Jumlahnya ( 1990),
Cahaya Maha Cahaya (1991),
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993),
Abacadabra (1994),
Syair Amaul Husna (1994)

[sunting] Essai/Buku
Buku-buku esainya tak kurang dari 30 antara lain:
Dari Pojok Sejarah (1985),
Sastra Yang Membebaskan (1985)
Secangkir Kopi Jon Pakir (1990),
Markesot Bertutur (1993),
Markesot Bertutur Lagi (1994),
Opini Plesetan (1996),
Gerakan Punakawan (1994),
Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996),
Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994),
Slilit Sang Kiai (1991),
Sudrun Gugat (1994),
Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai (1995),
Bola- Bola Kultural (1996),
Budaya Tanding (1995),
Titik Nadir Demokrasi (1995),
Tuhanpun Berpuasa (1996),
Demokrasi Tolol Versi Saridin (1997)
Kita Pilih Barokah atau Azab Allah (1997)
Iblis Nusantara Dajjal Dunia (1997),
2,5 Jam Bersama Soeharto (1998),
Mati Ketawa Cara Refotnasi (1998)
Kiai Kocar Kacir (1998)
Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan (1998)
Keranjang Sampah (1998) Ikrar Husnul Khatimah (1999)
Jogja Indonesia Pulang Pergi (2000),
Ibu Tamparlah Mulut Anakmu (2000),
Menelusuri Titik Keimanan (2001),
Hikmah Puasa 1 & 2 (2001),
Segitiga Cinta (2001),
“Kitab Ketentraman” (2001),
“Trilogi Kumpulan Puisi” (2001),
“Tahajjud Cinta” (2003),
“Ensiklopedia Pemikiran Cak Nun” (2003),
Folklore Madura (2005),
Puasa ya Puasa (2005),
Kerajaan Indonesia (2006, kumpulan wawancara),
Kafir Liberal (2006)
Jalan Sunyi EMHA (Ian L. Betts, Juni 2006)
"Istriku Seribu" Polimonogami Monopoligami...(Januari 2007, Essai)
"Tidak.Jibril Tidak Pensium (Penerbit Progress,Cet. I, Juli 2007,)

CHAIRIL ANWAR


Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Langsung ke: navigasi, cari

Foto Chairil Anwar
Chairil Anwar (Medan, 26 Juli 1922Jakarta, 28 April 1949) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [1]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.
Daftar isi[sembunyikan]
1 Masa kecil
2 Masa Dewasa
3 Akhir Hidup
4 Buku-buku
5 Terjemahan ke dalam bahasa asing
6 Karya-karya tentang Chairil Anwar
7 Pranala luar
8 Referensi
//

[sunting] Masa kecil
Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, yang bekerja sebagai pamongpraja. Dari pihak ibunya, Saleha dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [1]
Chairil masuk Hollands Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. [2] Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.[3]
Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

[sunting] Masa Dewasa
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[4]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[5]
Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

[sunting] Akhir Hidup
Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[6] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

[sunting] Buku-buku
Deru Campur Debu (1949)
Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
"Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
Derai-derai Cemara (1998)
Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck

[sunting] Terjemahan ke dalam bahasa asing
Karya-karya Chairil juga banyak diterjemahkan ke dalam bahasa asing, antara lain bahasa Inggris, Jerman dan Spanyol. Terjemahan karya-karyanya di antaranya adalah:
"Sharp gravel, Indonesian poems", oleh Donna M. Dickinson (Berkeley? California, 1960)
"Cuatro poemas indonesios [por] Amir Hamzah, Chairil Anwar, Walujati" (Madrid: Palma de Mallorca, 1962)
Chairil Anwar: Selected Poems oleh Burton Raffel dan Nurdin Salam (New York, New Directions, 1963)
"Only Dust: Three Modern Indonesian Poets", oleh Ulli Beier (Port Moresby [New Guinea]: Papua Pocket Poets, 1969)
The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Burton Raffel (Albany, State University of New York Press, 1970)
The Complete Poems of Chairil Anwar, disunting dan diterjemahkan oleh Liaw Yock Fang, dengan bantuan H. B. Jassin (Singapore: University Education Press, 1974)
Feuer und Asche: sämtliche Gedichte, Indonesisch/Deutsch oleh Walter Karwath (Wina: Octopus Verlag, 1978)
The Voice of the Night: Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar, oleh Burton Raffel (Athens, Ohio: Ohio University, Center for International Studies, 1993)

[sunting] Karya-karya tentang Chairil Anwar
Chairil Anwar: memperingati hari 28 April 1949, diselenggarakan oleh Bagian Kesenian Djawatan Kebudajaan, Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan (Djakarta, 1953)
Boen S. Oemarjati, "Chairil Anwar: The Poet and his Language" (Den Haag: Martinus Nijhoff, 1972).
Abdul Kadir Bakar, "Sekelumit pembicaraan tentang penyair Chairil Anwar" (Ujung Pandang: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Ilmu-Ilmu Sastra, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, 1974)
S.U.S. Nababan, "A Linguistic Analysis of the Poetry of Amir Hamzah and Chairil Anwar" (New York, 1976)
Arief Budiman, "Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan" (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976)
Robin Anne Ross, Some Prominent Themes in the Poetry of Chairil Anwar, Auckland, 1976
H.B. Jassin, "Chairil Anwar, pelopor Angkatan '45, disertai kumpulan hasil tulisannya", (Jakarta: Gunung Agung, 1983)
Husain Junus, "Gaya bahasa Chairil Anwar" (Manado: Universitas Sam Ratulangi, 1984)
Rachmat Djoko Pradopo, "Bahasa puisi penyair utama sastra Indonesia modern" (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)
Sjumandjaya, "Aku: berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar (Jakarta: Grafitipers, 1987)
Pamusuk Eneste, "Mengenal Chairil Anwar" (Jakarta: Obor, 1995)
Zaenal Hakim, "Edisi kritis puisi Chairil Anwar" (Jakarta: Dian Rakyat, 1996)